Wanita yang merindukan surga, sebuah buku yang ditulis perempuan seangkatan saya tentang cerita hijrahnya. Bagi saya, menyaksikan fenomena hijrah pada teman itu hal yang biasa. Semuanya mengubah penampilan; topik postingan di media sosial; serta menyisipkan bahasa Arab dalam ucapannya. Melihat keseragaman itu satu pertanyaan muncul dalam pikiran saya:
"Emang enggak bisa ya hijrah tanpa menjadi 'orang arab'?"
Maksud saya, hijrah mah hijrah aja tapi apa yang ditampilkan ke orang lain enggak perlu berubah. Buat lingkaran pertemanan saya, tiba-tiba rajin salat tepat waktu pun sudah menunjukan proses hijrahnya.
Saya tentu saja enggak menanyakan pertanyaan tadi secara langsung ke teman saya, enggak sopan, dan saya pikir itu sudah masuk ranah pribadi mereka. Kemudian, lewat buku ini saya menemukan jawabannya. Esty bilang apa yang saya lihat merupakan "dosa-dosa basi" dalam proses hijrah.
Ya, seperti yang Esty bilang bahwa ia membagikan dosa-dosa yang pernah ia lakukan selama perjalanan hijrahnya dalam buku ini.
Tapi jawaban dari pertanyaan saya bukan satu-satunya yang saya dapatkan dari buku ini. Lebih jauh lagi, saya menyimpulkan bahwa apa yang terlihat dari teman-teman ternyata hanya permukannya saja. Ada hal lain yang seharusnya lebih diperhatikan lagi oleh shohibul hijrah.
Pertama tentang hijrah penampilan. Dalam bab ini perubahan penampilan bagi orang yang niat berhijrah sudah biasa terjadi. Bahkan sejak ia pertama kali berhijrah saat remaja. Sayangnya, banyak orang yang berhenti pada pergantian penampilan saja tanpa memerdulikan kualitas diri.
Esty juga enggak lupa menyebutkan perilaku menilai keimanan orang lain hanya dari pakaian yang dikenakan saja. Saya rasa, setelah menyimak penjelasan Esty, perilaku ini mirip dengan orang pintar yang merasa orang lain bodoh dari cara bicaranya saja.
Kedua, hijrah pergaulan. Dalam bab ini Esty membahas tentang perasaan resah saat berteman dengan shohibul hijrah lainnya. Lebih khusus lagi yang sangat baik pada sesama teman hijrah tapi enggak pada orang lain.
Yang saya pahami, penyebab perilaku tersebut adalah sikap merasa paling benar. Bahkan, kepada sesama pejuang hijrah pun bisa saling mengecilkan. Ada yang memusuhi, mengucilkan, dan memandang rendah pejuang hijrah dari pengajian yang berbeda.
Esty menyayangkan hal ini dan menganggap bertentangan dengan semangat hijrah Nabi Muhammad SAW. Apalagi, di Madinah Nabi lebih mendahulukam membangun hubungan sosial yang baik sebagai cara berdakwahnya.
Setelah saya ingat-ingat lagi, ini juga terjadi pada beberapa teman. Ada yang memutuskan pertemanan setelah berhijrah dengan alasan menghindari dosa. Sesuatu yang menurut saya sulit dimengerti saat itu.
Ketiga, hijrah perasaan yang menyentil shohibul hijrah kebelet nikah. Ya, kamu tahu sendiri, kan, dari sekian banyak perintah Allah dan Rasul, yang paling mendapat panggung adalah poligami dan menikah untuk menghindari zina saat pacaran. Ini yang disebut Esty sebagai perilaku melupakan misi (membangub) peradaban setelah hijrah.
Menariknya, Esty pernah berjumpa dengan seseorang yang mendadak jadi enggak produktif setelah berhijrah karena lebih fokus mencari jodoh. Menurutnya, "memikirkan peran peradaban jauh lebih masuk ajal daripada calon pasangan yang sudah pasti dijamin Allah".
Ya kalau dipikir-pikir lagi, memikirkan peran kita pada peradaban memang lebih penting, sih. Maksud saya, memangnya kamu mau cuma dikenang cuma karena jadi manusia saja? Tanpa prestasi atau "gelar" yang kamu inginkan. Enggak jadi yang terbaik, cukup pilih satu peran yang paling pas buatmu lalu lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Kalau mendapat panggung atay rezeki ya syukur alhamdulillah, kan?
Keempat hijrah pekerjaan. Jelas terlihat di sekitar kita bahwa yang sudah berhijrah umumnya mencari rezeki lewat jalur berdagang. Katanya sih itu sunat Rasul. Beberapa orang bahkan rela keluar dari pekerjaannya demi menghindari riba.
Menurut Esty, berdagang pun belum tentu baik dan barokah. Seperti usaha dalam fashion yang pernah ia tekuni. Ia menganggap, usahanya itu ikut ambil berperan dalam kerusakan lingkungan. Artinya, ia enggak mengikuti perintah Allah untuk menjaga bumi dan lingkungannya.
Belum lagi pertimbangan tentang kehidupan yang harus terus berlanjut. Ada kalanya, orang-orang yang sudah berhijrah menjadi terpuruk status ekonominya karena memaksakan diri keluar dari pekerjaan.
Karena itu, "selama kita belum bisa benar-benar yakin pekerjaan kita seratus persen bersih dan suci, kita hanya bisa berharap ikhtiar pencarian nafkah kita diridai Allah sebagai ibadah, apa pun itu".
Yang terakhir, hijrah pengajian. Saat membaca bab ini, saya enggak bisa menangkap terlalu dalam. Alasannya karena saya rasa bab kelima lebih cocok (atau memang dikhususkan?) buat temen-temen yang sudah hijrah. Intinya Esty mengajak berpikir apakah pengajian yang sedang diikuti benar-benar baik? Apakah pengajian tersebut enggak cuma menambah ilmu, tapi juga mengubah perilaku kita?
Bagi saya yang masih entah kapan berhijrah, buku ini bisa dijadikan referensi menahami fenomena-fenomena dari shohibul hijrah di sekitar saya. Apalagi, jika merasa canggung untuk menanyakan secara langsung.
Namun saya rasa buku ini lebih cocok buat temen-temen yang sedang berhijrah karena bisa jadi sarana buat belajar dari pengalaman hijrah orang lain.
Dan yang paling saya suka dari buku ini, Esty menggunakan bahasa yang ringan seperti obrolan sehari-hari. Ada juga candaan ringan di sela-sela pemaparannya. Jadi buat kamu yang jarang baca buku juga masih sangat bisa dimengerti kok.