Setelah mengetahui
bahwa Re: adalah sebuah trilogy, saya langsung mengincar novel keduanya yang
berjudul peREmpuan. Alhamdulillah, tepat tanggal 17 Agustus novel kedua dari
trilogy RE: saya dapatkan dengan harga yang sangat terjangkau. Wkwkwk.
Berbekal rasa penasaran
akan kelanjutan cerita RE: saya membaca novelnya dengan semangat tinggi. Bahkan
saking semangatnya, novel tersebut saya babat habis hanya dalam waktu empat jam
saja. Mungkin lebih sedikit, tapi kalau enggak salah memang segitu.
Lalu apa yang saya
rasakan saat membaca peREmpuan dari Kang Maman? Sedih, kecewa, dan penasaran
akan buku ketiganya. Namun intinya, saya tahu bahwa ekspektasi saya pada novel
kedua ini terlalu tinggi.
Penyebabnya sederhana
saja, karena dalam peREmpuan, Kang Maman enggak terlalu banyak menghadirkan
konflik jadi saat membaca ceritanya terasa datar saja. Belum lagi terlalu
banyak bagian dari novel pertama yang diceritakan ulang. Tapi saya yakin, pasti
ada alasan di balik semuanya.
Tebakan saya yang
pertama, Kang Maman ingin agar pembaca yang enggak mulai dari novel pertama
enggak merasa kebingungan. Kedua, Kang Maman mungkin enggak menulis peREmpuan
dengan emosional seperti RE: yang say abaca lewat aplikasi iPusnas. Saya lebih
memilih percaya alasan yang pertama karena lebih masuk akal dan bisa
dimengerti. Kalau ternyata alasannya yang kedua, mungkin saya bakal kecewa
berat karena seharusnya Kang Maman memertahankan sisi emosionalnya saat menulis
buku ini.
Di sisi lain, saya kira
Kang Maman tidak berhasil sampai ke mana-mana di novel peREmpuan ini. Sejak
awal, Kang Maman seperti ingin memberikan kejutan pada pembacanya. Namun,
enggak tahu kenapa kok rasanya terlalu banyak “spoiler” yang diberikan
sepanjang cerita. Misalnya, Melur yang sudah memanggil Tante Re: dengan Ibu Re:
atau macam-macam sangkaan Kang Maman tentang Melur yang sudah mengetahui
identitas asli Re:.
Tapi terlepas dari
semua itu, Kang Maman berhasil membikin saya merasa sedih sekaligus kesal di
pertengahan cerita. Lalu di akhir ceritanya, Kang Maman juga berhasil bikin
saya penasaran bagaimana kelanjutan cerita trilogy RE: ini.
Mungkin, dalam bayangan
saya, jika novel ini ditulis dengan perspektif Melur atau orang ketiga
ceritanya bisa semakin dahsyat. Apalagi, sejak awal Melur memang sering
diceritakan oleh Kang Maman.Namun, mengingat kisah RE: diangkat dari skripsi
Kang Maman—yang artinya diambil dari cerita nyata—keinginan egois saya yang
satu ini bisa diredam.
Teman saya juga bilang
kalau Kang Maman masih “terlalu ilmiah” di dalam novel peREmpuan ini dan saya
menyetujuinya. Mungkin kekecewaan ini akan terbayar setelah membaca buku
ketiganya—amiin. Soalnya kalau enggak gitu, sebagai penikmat cerita pengalaman
orang lain, saya bakal merasa kecewa setengah mati.
Yam au bagaimanapun,
sebagai pembaca saya pasti punya keegoisan tersendiri untuk menginginkan cerita
yang sesuai dengan ekspektasi subjektif saya.
Kesimpulannya, novel
peREmpuan harus kamu baca karena ceritanya enggak bisa dibilang sepele juga.
Terus bisa juga berjaga-jaga takutnya di novel ketiga trilogy ini Kang Maman
meneruskan ceritanya.
Kan enggak seru ya
kalau misalnya ujug-ujug beli novel ketiganya terus merasa bingung sendiri. Mudah-mudahan
saya punya rezeki yang lebih bulan depan biar rasa penasaran ini enggak
berkelanjutan. Wkwkwk.